Senin, 30 Juni 2014

Gebetan Gagal [FIKSI!]



“Eh, itu lho, Ul! Itu! Baju batik!” Kata teman ku yang tiba – tiba menunjukkan jarinya yang baru saja dia gunakan untuk mengupil ke suatu arah.
“Mana sih? Nggak ada yang pake baju batik ah!” Sangkal ku sambil mencari anak yang memakai baju batik.
“Itu! Itu adiknya mas Lafif yang pakai batik! Lihat nggak?! Hey lihat! Lihat nggak lihat nggak?!” Kata teman ku menggebu.
“Iya, iya lihat” Jawab ku melongo melihat kakak kelas yang ditunjuk oleh temanku itu. “Eh, cakep..” Kataku sambil tersenyum.
“Iya, makanya, aku pengen beli!” Kata dia sambil jingkrak – jingkrak nggak karuan. Beli? Dia mau beli orang?
“Ha? Kamu mau beli?” Tanya ku kemudian.
“Iya, aku pengen beli!”
“Lihat deh! Coraknya bagus! Abstrak tapi teratur.” Corak? Abstrak?
“Dikata batik, abstrak?! Orang cakep gitu! Lagian, mana ada abstrak tapi teratur!” Kata ku kesal.
“Iya, emang batik. Batik yang di pakai sama adiknya mas Lafif! Kamu kira apa?” Jawab dia sambil terus memandangi ( baju batik ) adik mas Lafif tadi. Aku cuma tersenyum kecut sambil ngedumel sendiri.


Itu tadi sepenggal cerita waktu pertama kali tahu tentang seseorang yang akhirnya jadi gebetan ku yang pertama kali. Namanya Affan. Namanya , lengkapnya Affantar The Legend of Aang (Itu Avatar woy!). Itu julukan ku untuknya. Affan kakak kelas aku waktu SMA. Menurutku, Affan ini anaknya, pinter, pendiem, cakep, cuek, agak sedikit pendek dibanding aku. Dia punya kakak cowok. Dia juga punya adik, cewek. Dia punya orang tua. Dia lahir dan menetap di Magelang. Dia.. bentar – bentar ini kenapa malah ngomongin hal nggak penting gini?

Aku tak tahu pasti kapan perasaan ini muncul. Hanya saja kita sering bareng. Ikut organisasi yang sama, ikut lomba juga sama. Dan tanpa sengaja, mata aku selalu terarah untuk Affan. Jangan tanya kenapa, karena aku juga nggak tau. Tapi suatu hari teman ku bilang.

“Kamu suka tuh sama Affan!”

Suka? Maksudnya? Aku tak paham. Aku tidak tahu. Aku belum pernah merasakan semua ini. Tapi aku pernah dengar, kalau suka itu bisa jadi cinta. Iya kah? Entahlah. Aku juga masih baru dalam hal ini. Cinta pun aku juga tak tau.

Tapi perasaan suka aku ke Affan ini tidak aku ceritakan ke sembarang orang. Tak tahu kenapa, aku malu untuk cerita ke teman – temanku. Padahal, aku bukanlah seorang pemalu. Aku hanya berani cerita sama teman – teman yang aku percaya. Tapi, namanya juga orang, pasti bisa khilaf. Suatu hari semua itu terbongkar dan sampai ke telinga Affan dan (bisa dibilang) pacarnya. Ya, Affan ternyata mempunyai seorang pacar.

Aneh. Ada perasaan tak rela yang tiba – tiba datang. Ah, perasaan apa ini. Aku sangat tidak nyaman dengan semua ini! Aku ingin membuang semua perasaan ini. Aku benar – benar tidak suka!

Sampai akhirnya aku dengar, Affan putus.

Senang. Ya, ada rasa senang yang muncul. Tapi kenapa? Kenapa aku harus senang diatas penderitaan mereka? Bukankah itu buruk? Tapi aku benar – benar merasa senang. Senang sekali.

Sampai suatu saat, aku mempunyai nomor handphone Affan. Kita mulai ber SMS dan bercerita tentang banyak hal. Tapi Affan lebih banyak bercerita tentang seseorang yang pernah ada di hidupnya dan mengisi hari – harinya.

Aku benar – benar benci ketika dia menceritakan semua itu. Sampai akhirnya, aku beranikan diri untuk mengatakan perasaanku padanya. Meskipun hanya lewat SMS. Ya, aku mulai belajar dan mulai merasakan sebuah cinta. Mungkin.

“Kak, tau nggak sih? Kalau selama ini aku suka sama kamu?”
“Iya, aku tau. Kamu suka sama aku.”
“Terus?”
“Aku masih belum bisa. Kamu tau kan?”
“Iya.”
“Kamu marah?”
“Enggak.”



Aku tak marah. Dan mungkin aku tak akan pernah bisa marah padanya. Aku tak marah. Hanya saja perasaan ku bagaikan gado – gado. Campur jadi satu. Tapi bedanya, rasa gado – gado enak dan perasaanku ini tak enak. Benar – benar menyebalkan. Bagaimana bisa aku suka dengan orang seperti dia?!

Sejak saat itu, kita tak pernah ada kontak. Setiap kali bertemu, aku lihat dia selalu berusaha menyapaku. Tapi entah kenapa mataku, untuk kali ini tak bisa ku arahkan untuknya.

“Gimana sama kakak kelas itu?” Tanya teman ku tiba – tiba.
“Siapa?”
“Affan lah. Siapa lagi?”

Aku hanya memberinya senyum kecil dan tak menjawab apapun. Teman ku kali ini bernama Dion. Dion, kutu buku dan pintar. Hanya saja ia tak pintar bergaul. Karena itu, tak banyak yang berteman dengannya meskipun dia pintar dan lumayan tampan. Aku bisa berkenalan dengannya karena sifatku yang selalu ingin tahu dan tak bisa diam. Aku suka sekali menjahilinya, tapi dia tak pernah marah. Itu yang membuatku senang berteman dengannya. Aku menganggapnya teman baikku. Tapi aku tak pernah menceritakan tentang Affan kepadanya. Karena setiap aku menceritakan tentang Affan, Dion tak mau memperhatikanku. Itu menjengkelkan.

“Hey, kenapa kamu cuma diam?” Kata Dion.
“Kenapa kamu tiba – tiba bertanya itu? Biasanya kamu tidak tertarik kan?”
“Ya, aku kan cuma tanya. Kamu bisa cerita sama aku kalau kamu mau.”
“Nggak. Nggak apa – apa.”
“Kamu nggak biasanya kan, kayak gini?”
“Emang aku kenapa? Aku nggak apa – apa kok.”
“Akhir – akhir ini kamu nggak ngejahilin aku. Kenapa?”
“Harusnya kamu seneng, Dion! Mau aku jahilin lagi?”
“Ya udah. Terserah kamu.”

Dion meninggalkanku begitu saja. Menyebalkan! Aku kan jadi harus mengejarnya.

“Dion!”
“Kenapa?”
“Kamu marah?”
“Marah kenapa?”
“Hm...”
“Ck! Udah ah, aku aku mau ke perpustakaan.”
“Mau apa?
“Mau makan! Ya mau baca buku lah!”
“Aku ikut!”
“Orang tinggal ikut juga.”
“Hehehe..”

Di perpustakaan, Dion selalu sibuk membaca buku filsafat – filsafat yang menurutku tak penting. Dan di perpustakaan aku selalu hanya bengong melihatinya membaca buku.

“Heh!” Dion membuyarkan lamunanku.
“Apa sih! Ngagetin aja! Males ah!”
“Haha.. kamu ada masalah apa sih? Cerita deh cerita. Cerita sini sama abang.”
“Kapan orang tua aku ngelahirin kamu?!”
“Kemarin.” Katanya sambil terus membaca buku.

Aku masih diam. Sampai tiba – tiba Affan masuk ke perpustkaan.

“Yon!”
“Hmm..”
“Yon!”
“Hmm.. kenapa? Cerita aja.”
“Dion!”
“Kenapa sih!”
“Affan,Yon.”
“Haah. Aku bener, kan? Nggak mau sekarang ah, nanti aja.”
“Kenapa sih, Yon?”
“Apa sih?”
“Kenapa setiap kali aku mau cerita tentang Affan kamu selalu gitu? Kamu temanku bukan sih?!”
“Aku.. aku.. aku males ndengerinnya. Aku...”
“Yaudah!”

Aku keluar meninggalkan Dion yang masih membaca buku dan belum menyelesaikan kalimatnya. Kali ini aku benar – benar ingin bercerita dengannya. Tapi kenapa dia masih saja menyebalkan?!

“Uli!”

Ah, dia memanggilku. Affan pasti melihatku. Aku harus bagaimana? Berbalikkah? Ya, dia kakak kelas ku. Bisa mati aku kalau tak menghormatinya.

“Uli! Tunggu!” Teriaknya lagi.
“Ehm.. iya, kak. Ada apa?”
“Ehm.. uh.. gimana ya. Ehm, nanti jam 4 kamu bisa nunggu aku nggak di sekolah?”
“Jam 4? Ngapain kak?”
“Ehm, kamu tinggal jawab bisa apa enggak?”
“Uli”
“Dion?”
“Nanti jadi kan? Jam 4? Katanya mau cerita?

Dion kenapa? Apa maksudnya?

“Nanti jadi kan?” Kata Dion menghampiri ku.
“Ehm...”
“Oh, kamu udah ada janji sama Dion? Yaudah, kapan – kapan aja. Nanti aku kabarin lewat SMS ya! Dah!” Kata Affan sambil tersenyum dan berlari kembali masuk ke perpustakaan.

Aku tak tahu harus marah atau apa pada Dion. Dion benar – benar menyebalkan. Dia membuatku menyia – nyiakan waktu ku untuk bisa berdua dengan Affan. Tapi dia juga menyelamatkanku. Karena sebenarnya aku masih tak mau bertemu dengan Affan. Aku mendorong Dion kuat – kuat hingga Dion jatuh dan pergi meningglkannya. Dia memanggil ku berkali – kali, tapi tak aku hiraukan. Aku ingin menangis. Tapi aku malu. Aku tak pernah menangis. Lalu aku memutuskan pergi ke tempat temanku, Lia. Dia yang memberitahuku tentang Affan. Jadi dia harus bertanggung jawab.

“Lia!”
“Uli. Kenapa? Kok kamu lusuh?”
“Lia..”

..kriiing... bel masuk kelas pun berdering. Ah, menyebalkan.

“Lia, nanti aja deh.”
“Gimana sih, kamu!”
“Heheh.. udah masuk. Ntar aja.”
“Ya udah deh. Sana balik kelas!”

Aku melangkah ke ruang kelas ku dengan lesu. Aku masih sebal dengan Dion.

“Hei. Aku boleh duduk di sebelahmu?” Kata Dion padaku.

Aku tak menjawab. Hanya menoleh saja dan membiarkannya duduk di sebelahku.

“Kamu tahu nggak sih?! Sakit nih sakit!! Kepalaku tadi kejedot tembok itu! Kamu lihat nggak aku di perban ini! Ah!”

Aku masih tak menjawabnya.

“Ok, sekarang kamu boleh cerita.”
“Nanti jam 4!”
“Sekarang aja.”
“Udah masuk.”
“Gurunya nggak dateng!”
“Selamat siang anak – anak!”

Tiba – tiba guru pelajaran jam ini datang.

“Itu siapa?”
“Ck! Udah lah cerita sekarang!”
“Nggak mau! Orang udah masuk juga! Lagian tadi siapa yang ngajakin jam 4?”
“Sekarang! Pokoknya sekarang!!” Kata Dion keras sekali.
“Kamu bisa pelan nggak sih ngomongnya?”
“Pokoknya sekarang! Cepetan! Atau enggak sama sekali!!”
“Dion! Apa sih kamu!”
“Dion! Uli! Kalian kenapa?! Kalau mau ribut keluar saja!”
“Tapi buk, Dion yang mulai duluan!” Sangkalku.
“Uli yang mulai duluan, buk!” Aku tak mengerti apa maksudnya.
“Kamu.. Dion, buk! Dion yang mulai duluan!”
“Uli, buk!”
“Sudah, kalian berdua, keluar!”
“Tapi, buk..” Kataku masih berusaha, tapi Dion menarikku keluar kelas.

Di luar kelas, aku dan Dion hanya saling diam di belakang sekolah. Aku tak tahu apa yang ada di otak Dion sekarang ini.

“Kalau gini jadi bisa cerita, kan?” Kata Dion tiba – tiba.
“Oh, jadi ini maksud kamu. Nggak lucu, Yon!”
“Aku emang nggak lagi ngelawak. Aku emang nggak lucu. Tapi aku bisa dengerin kamu cerita.”

Tak ada jawaban dariku. Aku masih sebal saja dengan dia.

“Li.. kamu tahu, kalau.. ok aku nggak suka basa – basi. Aku suka kamu.”

Aku menengok ke arah Dion. Aku masih diam. Tapi kali ini beda dengan diam sebelumnya. Diam kali ini diam yang penuh tanya. Diam yang membutuhkan kalimat yang lebih.

“Li, kamu tahu nggak. Selama ini aku cuma nggak mau lihat kamu nangis di depan aku. Makanya aku nggak pernah mau kamu cerita tentang Affan di depan aku. Ehm.. gimana pun kamu harus tanggung jawab. Kamu yang bikin aku suka sama kamu. Kamu yang bikin aku ketawa. Satu hal yang nggak kamu tahu, Li. Aku dari keluarga broken home. Jadi, aku sangat menghargai kehadiran kamu disini."

Aku masih diam dan diam. Air mata ku menetes dalam diam ku. Ternyata Dion..

"Nggak usah nangis, Li! Sekarang kamu cerita sama aku. Aku siap kok dengernya." Katanya sambil tersenyum hambar. Sangat hambar.

"Yon." Kataku sesenggukan.
"Iya. Jangan nangis dong! Aku kan bilang aku nggak suka!"
"Iya, maaf." Kataku sambil tersenyum.
"Nah, ayo cerita. Gimana kamu bisa..."
"Yon! Aku nggak mau cerita tentang Affan! Aku mau kamu cerita tentang kamu!"
"Nggak penting, Li. Yang penting aku bisa selalu sama kamu. Selalu ada yang nemenin. Itu udah cukup. Cuma kamu satu - satunya temenku. Kamu bisa bikin aku ketawa ngelupain semua hal. Kamu yang selalu ngejahilin aku. Aku butuh semua itu, Li. Aku ngga pernah berharap lebih sama kamu. Nggak pernah. Apa lagi sejak kamu suka sama Affan. Hh.."
"Tapi kalau aku yang pengin lebih gimana?"
"A.. apa?"
"Iya, aku pengin lebih. Ternyata selama ini ada seseorang yang selalu merhatiin aku, tapi aku nggak pernah merhatiin dia. Aku tahu persis rasanya, Yon. Dan aku nggak mau kamu ngerasain itu."

Dion tak menjawab. Dia hanya menatap langit yang luas.

"Yon?" Panggilku.
"Yon?!" Panggilku lagi agak keras.
"Yo.."
"Uli aku suka sama kamu mau kamu jadi pacar aku?
"Hahaha.. ya.. aku mau."

Dion hanya diam dan menatapku.

"Jadi?"
"Tapi Affan. Aku rasa dia mulai suka sama kamu. Dan aku yakin kamu bakal..."
"Yon, aku tadi bilang, aku tahu persis rasanya. Udahlah, Affan itu cuma gebetan yang nggak jadi aku gebet. Dia emang bener - bener bisa bikin aku seneng. Dia emang punya segalanya. Dia emang orang pertama yang aku suka di dunia ini. Tapi buat apa? Percumah kalau aku suka sama Affan tapi dia nggak suka sama aku juga."
"Yah! Kamu pacar aku sekarang. Kamu nggak boleh suka sama siapa - siapa lagi!"
"Hm..."
"Kok hm?"
"Yaaaa!!"
"Hehehe."
"Nanti jadi jam 4?"
"Jadi. Nanti jam 4 aku pengen kamu ketemu sama Affan dan bilang semuanya yang kamu pengen bilang. Aku tahu, kamu nggak mungkin segampang itu langsung lupa sama cinta pertama kamu kan?"
"Cinta pertama yang nggak tercapai?"
"Hahaha. Iya deh. Gimana? Mau?"
"Oke. Siapa takut!"

Aku pun sekarang mempunyai seseorang yang akan selalu ada untuk ku. Aku percaya kamu, Yon.

Dan sore itu jam 4, aku masih benar - benar menunggu Affan pulang. Dia pulang sore karena harus les. Satu bulan lagi ujian nasinal dan dia ikut tahun ini. Aku menunggunya di pintu gerbang. Tanpa Dion. Dion meningglakanku karena dia bilang ini masa lalu ku. Dan dia tak mau ikut campur.

"Kak Affan!"
"Eh, kamu beneran nunggu? Ehm.." Kata Affan sambil celingukan.
"Nggak ada Dion, kak. Santai aja."
"Oh.. kirain kamu sama Dion. Em.. yuk, ikut aku dulu." Affan akan menarikku tapi aku cepat - cepat menangkasnya.
"Eh, kak disini aja bisa?"
"Em? Ok."
"Ok, kak. Kakak mau bilang apa?"
"Eh, jadi Li. Makasih selama ini kamu mau dengerin cerita aku.. makasih banget kamu juga suka sama aku. Tapi, Li. Aku masih belum bisa sama semua ini. Maaf, Li. Tapi satu hal. Kamu udah bener - bener aku anggap adik. Kamu adik aku, Li. Aku nggak mau pacaran sama adik aku. Aku sayang kamu, Li."
"Nggak apa - apa kak. Makasih juga kak, kakak udah ngasih banyak pelajaran buat aku. Sekarang aku udah sama Dion, kak. Aku sama Dion juga gara - gara kakak. Makasih banyak, kak. Kakak nggak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya minta maaf karena udah keterlaluan ngejar - ngejar kakak sampai kakak putus."
"Kamu sama Dion? Pantes aja haha. Selamat ya. Iya, sama - sama, dik." Kata Affan tersenyum. Manis. Sangat manis. Senyum ini yang dulu benar - benar bisa membiusku.
"Aku udah move on, kak. Kakak kapan?"
"Ah kamu! Pulang bareng, yuk! Aku sendirian nih!"
"Ayok!"
"Yeee, ogah! Kamu udah punya Dion! Katanya udah move on dari aku?!"
"Ih! Jahil! Dion nggak bakalan marah kali!"
"Hahahahahaa...."

Akhirnya, kita pulang berdua hari itu. Kita bercanda di jalan sebagai kakak adik. Status yang aneh haha. Tapi aku senang bisa bicara langsung dengan orang ini. Dasar kakak kelas gila! Dasar Dion gila!


THE END

Ciaaaaaaaaat!! Jalan ceritanya bener - bener ancur! Tadinya mau cerita non fiksi ada komedonya eh komedi! Tapi nggak kuat sama cerita non fiksinya!! Zzzz. Oke. Jujur, ini aku nulis ngebut. Dari jam setengah 9 alias pulang tarawih, sampai jam 10 lebih WIB! Ahh Bismillah.

Faktanya, Affan itu bener - bener kakak kelas ku. Tapi SMP. Dan kita emang cuma SMS an. Ketemuannya itu bohong! Dan faktanya lagi, kita emang NGGAK PERNAH JADIAN! HAHAHAHA semoga Affan nggak baca, Ya Allah. Hey kalian teman, SMP! Diam kalian! Jangan ketawa! Dan sampai sekarang aku belum pernah PACARAN!

Bissmillah, RegasGa! Am kaming!

2 komentar:

  1. ahh masasih boong gak pernah jadian...
    emang gak pernah atau lo yg ngarep ya x))

    tulisanya emang keliatan buru2 haha tapi kocak kok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, loh malah di perjelas -_-

      Hehe makasih, bang :))

      Hapus